Perjalan Hidup Malik tidak hanya sampai di pulau jawa. Ia kembali ke Minangkabau dengan misi mengembangkan Muhammadiyah ke Minangkabau. Selama diperantau ia banyak nemimba ilmu agama dan cukup disegani oleh Muhammadiyah, namun sesampainya di Minangkabau ia hanya dianggap sebagai tukang pidato bukan ahli agama. Hal ini disebabkan oleh kurang pasnya penggunaan tata letak bahasa, nahwu da sharaf. Kekurang ini dikaitkan karena tidak menyelesaikan pendidikannya di Tawalib.
Ilmu yang diperoleh salam di Jawa ternyata tidak terlalu banyak mengubah padangan orang-orang disekitarnya. Kekecewaannya bertambah saat ia gagal melamar untuk menjadi guru saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padang Panjang. Alasannya adalah tidak memiliki ijazah diploma. Dia mencurahkan kegundahan yang dialaminya kepada andungnya. Ia ingin pergi ke Makkah sendiri.Walaupun terkendala dengan biaya ia tetap ingin pergi. Dengan berjalan kaki dari Maninjau ke Padang dan dari Padang naik kapal. Ia bertemu dengan temannya bernama Isa di pelabuhan Belawan. Isa membarinya sedikit ongkos untuk ke Makkah. Februari 1927 Hamka berangkat haji bersama jemaah haji Indonesia. Selama diperjalanan ia cukup dihormati kerena kepandaiaanya membaca Al-Quran.
Sesampai di Makkah ia bekerja di percetakan Hamid Kurdi, yaitu mertua dari ulama Minangkabau Ahmad Chatib. Selama di Makkah ia benyak membaca dan belajar kita-kita klasik dan buku-buku tentang Islama. Hamkah sempatmemberikan pelajaran agama bagi jemaah haji asal Indonesia. Keinginan Hamka untuk menetap di Makkah batal karena bertemu dengan Agus Salim. Bujukan Agus Salim berhasil membawa Hamka kembali pulang ke tanah air, namu ia tidak pulang ke Padang Panjang. Kapal yang ditumpanginya berhenti di Medan dan ia pun ikut turun di Medan. Disinilah ia memulai karirnya sebagai jurnalis dan juga mengajar.
Hamka kembali ke Padang Panjang setelah gempa bumi meluluh lantahkan rumahnya di Sungai Batang, itupun karena bujukan dari kakak iparnya yang bertemu di Medan. Kepulanganya ke Padang Panjang mengejutkan ayahnya. Ternyata kepergiannya ke Makkah tidak diketahui oleh ayahnya. Ayahnya merasa bersalah dan menerima dirinya apa adanya. Untuk menebus rasa bersalah kepada ayahnya ia menerima permintaan ayahnya dengan menikahi Siti Raham tanggal 5 April 1929. Setelah menikah ia kembali Padang Panjang dan ia menjabat sebagai ketua Muhammadiyah sekaligus sebagai pimpinan sekolah Tablik.